Thursday, May 22, 2008

Keluarga Yahudi Amerika Bangun Masjid di Kamboja

TRAMOUNG CHRUM - Tramoung Chrum adalah sebuah desa yang berjarak sekitar 70 kilometer dari ibu kota Kamboja, Pnom Penh. Meski mayoritas penduduknya muslim, mereka tidak memiliki masjid. Tempat ibadah bagi mereka akhirnya didirikan atas jasa keluarga Yahudi asal Amerika Serikat, Alan Lightman.

"Kami tidak pernah memiliki masjid yang bagus di desa kami," ujar Leb Sen, 81, yang sudah tidak memiliki gigi itu. Dia merasa beruntung, selama hidup, sekarang dirinya bisa melihat masjid senilai USD 20. 000 itu (sekitar Rp 185,2 juta).

Peresmian masjid tersebut langsung dilakukan oleh Alan Lightman yang berusia 59 tahun dan istrinya, Jean Greenblatt Lightman, 9 Mei lalu. Ikut pula anak perempuan mereka, Elyse.

Di pintu masjid tertulis dengan tinta emas "Didirikan oleh Lightman Family". Masjid tersebut bisa menampung 200 orang jamaah sekaligus. Sebelumnya, warga muslim di desa itu harus berjubel di bangunan kecil dari kayu yang hanya bisa menampung 30 orang.

Ketika pertama datang ke desa tersebut, Lightman sebenarnya tidak berniat mendirikan masjid. Misi awal profesor dari Massachusetts Institute of Technology itu adalah meningkatkan pendidikan warga setempat. "Ini hal besar untuk bisa dipahami. Kami tidak pernah membayangkan bahwa kami akan membangun sebuah masjid di desa terpencil di Kamboja," ujar Lightman yang juga penulis novel terkenal Einstein’s Dreams tersebut.

Keluarga Lightman datang ke desa itu pada 2003 setelah seorang rekannya mengajak dalam proyek pendidikan di pedalaman. Dua tahun setelah itu, Lightman mendirikan yayasan Harpswell Foundation. Misinya, membantu anak-anak dan perempuan di negara-negara berkembang. Mereka awalnya membangun empat ruang sekolah di desa itu.

Pada 2006, sekitar 600 warga desa menemui dia. Mereka meminta Lightman membangun pusat kesehatan, pilihan yang paling diminati perempuan, atau sebuah masjid yang menjadi keinginan para bapak.

Dia lalu meminta agar warga memilih salah satu. Karena kawasan itu didominasi para pria, akhirnya masjidlah yang dipilih. "Para pria memenangi pilihan itu. Tapi, memang masjid juga sangat penting untuk melindungi budaya dan tradisi," jelas Sit Khong, 50, salah seorang warga.

Di Kamboja, penganut Islam hanya sekitar lima persen di antara 14 juta penduduk negeri itu. Sebagian besar mereka mengasimilasikan ajaran Islam dengan keyakinan Buddha, Hindu, dan animisme.

Mereka menyebut ajarannya sebagai Imam-San. Berbeda dari ajaran Islam yang sebenarnya, mereka hanya salat sekali dalam seminggu. "Dalam pandangan Islam, yang mereka jalankan tidak murni," tegas Tin Faizine, pelajar muslim berusia 24 tahun.

Sementara itu, Lightman menjelaskan, masjid yang dia bangun tersebut adalah yang pertama dan yang terakhir. "Saya tidak memiliki dana dan waktu lagi untuk membangun (masjid) yang lain," ungkapnya.

Sumber : Jawa Pos

0 comments: